Minggu, 08 Januari 2017

Dualisme Pembangunan

 Pengertian Dualisme
            Dualisme adalah ajaran atau faham yang memandang alam ini terdiri atas dua macam hakekat yaitu hakekat materi dan hakekat rohani. Kedua macam hakekat itu masing-masing bebas berdiri sendiri, sama azazi dan abadi. Perhubungan antara keduanya itu menciptakan kehidupan dalam alam. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakekat ini adalah terdapat dalam diri manusia. Jadi, dualisme adalah perbedaan antara bangsa kaya dan miskin. Perbedaan antara berbagai golongan masyarakat yang semakin meningkat.
            Dualisme merupakan suatu konsep yang sering dibicarakan dalam ekonomi pembangunan, terutama kalau kita membicarakan kondisi sosial-ekonomi di NSB. Konsep ini menunjukan adanya perbedaan antara bangsa-bangsa kaya dan miskin, dan perbedaan antara berbagai golongan masyarakat yang semakin meningkat.

 Konsep Dualisme
            Pada dasarnya, konsep dualisme mempunyai empat karakteristik pokok yaitu:
1.      Dua keadaan yang berbeda dimana satu keadaan bersifat superior (di atas rata-rata, lebih baik) dan keadaan lainnya bersifat inferior (rendah mutunya, kurang cerdas) yang hidup berdampingan pada ruang dan waktu yang sama.
2.      Kenyataan hidup berdampingan dua keadaan hidup yang berbeda tersebut bersifat kronis dan bukan transisional.
3.      Derajat superioritas atau inferioritas itu tidak menunjukan kecenderungan yang menurun, bahkan terus meningkat.
4.      Keterkaitan antara unsur superior dan unsur inferior tersebut menunjukan bahwa keberadaan unsur superior tersebut hanya berpengaruh kecil sekali atau bahkan tidak berpengaruh sama sekali dalam mengangkat derajat unsur inferior.

 Macam - Macam Dualisme
1.      Dualisme Sosial
            Suatu pertentangan sistem sosial yang diimpor dengan sistem sosial pribumi yang memiliki corak berbeda. Dualisme ini merupakan temuan dari seorang ekonom Belanda. J. H. Booke, tentang sebab-sebab kegagalan dari kebijakan (ekonomi) kolonial Belanda di Indonesia pada jaman penjajahan. Prinsip pokok tesis Booke adalah pembedaan antara tujuan kegiatan ekonomi di Barat dan Timur secara mendasar. Ia mengatakan bahwa kegiatan ekonomi di Barat lebih didasarkan pada rangsangan kebutuhan ekonomi, sedangkan di Indonesia lebih disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan sosial. Secara tajam ia mengkritik usaha-usaha dalam menjelaskan proses pengalokasian sumberdaya atau distribusi pendapatan dengan cara menggunakan teori produktivitas marjinal dari kaum Neo Klasik, terutama sekali karena adanya immobilitas sumberdaya dalam masyarakat Timur.
            Berbicara mengenai konsep dualismenya sendiri, Booke mengawali penjelasannya dengan mengatakan bahwa perspektif ekonomi, masyarakat memiliki tiga ciri, yaitu adanya semangat sosial, bentuk organisasi, dan tekhnologi yang mendominasinya. Saling ketergantungan dan saling keterkaitan antara ketiga crri tersebut disebut sistem social atau gaya sosial.
            Secara khusus, Mackie (1981) dengan tegas mengatakan bahwa teori dualisme (Booke) tidak banyak membantu, bahkan cenderung menghambat usaha mempelajari perekonomian di Indonesia. Namun demikian, dia juga heran mengapa teori yang dianggap “salah” oleh banyak sarjana ekonomi itu terus-menerus dibicarakan dalam hubungannya dengan perekonomian Indonesia.
            Sementara itu, para sosiolog dan antropolog menyatakan bahwa kalau memang dalam suatu masyarakat terdapat dualisme, maka sifat tersebut tidak akan hilang begitu saja dengan adanya proses pembangunan ekonomi. Itulah sebabnya, Clifford Geertz (1963) mengenalkan konsep dualisme yang lain yaitu dualisme ekologis.

2.      Dualisme Ekologis
            Suatu perbedaan dalam sistem ekologis yang menggambarkan pola-pola sosial ekonomi yang menyatu dalam keseimbangan internal. Pada tahun 1963, Cliffrord Greetz mengenalkan konsep tersebut. Menurut Greetz, dualisme ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam sistem ekologis. Setiap sistem ekologis tersebut menggambarkan pola-pola sosial dan ekonomi tertentu yang menyatu di dalamnya dan membentuk suatu keseimbangan internal. Greetz menggambarkan adanya stabilitas dualisme  tersebut menunjukan bahwa dualisme prakolonial di Indonesia semakin menguat dengan adanya intervensi colonial, bukannya semakin menurun atau berkurang.
            Greetz menjelaskan konsepnya tentang dualisme ekologis ini dengan menggunakan kasus Indonesia. Ia menjelaskan tentang adanya perbedaan antara “Indonesia Dalam” dan “Indonesia luar”. “ Indonesia Dalam , dalam hal ini diinterpretasikan oleh jawa, merupakan sistem ekologis padat karya yang dintandai oleh pertanian padi, tebu, dan tanaman lainnya yang membutuhkan kondisi iklim tropis dan semi tropis dan membutuhkan banyak air. Sementara “Indonesia luar” ditandai oleh pertanian yang padat tanah dan padat modal, produk padat karya, seperti produk tambang, karet, dan kelapa sawit.

3.      Dualisme Teknologi   
            Benjamis Higgins (1956) mempertanyakan kesahihan dari observasi empiris Boeke dan menunujukan contoh yang lebih khusus mengenai kegunaan kerangka analisis ekonomi barat dalam menghadapi apa yang dikemukakan Boeke. Higgins- yang secara eksplisit menolak dualisme sosialnya Boeke – berargumen bahwa asal mula dualisme adalah adanya perbedaan teknologi antara sektor modern dan sektor tradisonal.
            Menurut Higgins, sektor modern terpusat pada produksi komuditas primer dalam pertambangan dan perkebunan. Sektor modern itu mengimpor teknologinya dari luar negri. Teknologi impor yang digunakan dalam sektor modern tersebut bersifat hemat tenaga kerja (Labour saving) di mana secara relatif modal yang digunakan keadaan ini berbalikan dengan keadaan pada sektor tradisonal yang ditandai oleh besarnya kemungkinaan untuk mengganti modal dengan tenaga kerja serta penggunaan metode produksi yang padat tenaga kerja (Labour intensive). Perkambangan sektor modern terutama sekali sebagai respon terhadap pasar luar negeri dan pertumbuhannya hanya mempunyai dampak yang kecil terhadap perkonomian lokal. Sedangkan perkambangan sektor tradisional sangat terbatas karena kurangnya tabungan (pembentukan modal).
            Dengan kata lain, dualisme teknologi adalah suatu keadaan di mana dalam suatu kegiatan ekonomi tertentu digunakan teknik produksi dan organisasi produksi yang modern yang sangat bebeda dengan kegiatan ekonomi lainnya dapat akhirnya akan mengakibatkan timbulnya perbedaan tingkat produktivitas yang sangat besar.

4.      Dualisme Finansial
            Hla Myint (1967) meneruskan studi Higgins tentang peranan pasar modal dalam proses dualisme. Myint membuat analisis mengenai pasar uang yang terdapat di NSB dapat menunjukan adanya Dualisme Finansial. Pengertian Dualisme Finansial ini menunjukan bahwa pasar uang di NSB dapat dipisahkan ke dalam dua kelompok, yaitu:
a.       Pasar uang yang terkelola dangan baik (organized money market), Pasar uang ini meliputi bank-bank komersil dan badan-badan keuangan lainnya. Hal ini terutama terdapat di kota-kota besar dan pusat-pusat perdagangan.
b.      Pasar uang yang tidak terkelola (unorganized money market). Unorganized money market adalah bentuk pasar uang yang bukan berbentuk institusional, terdiri dari tuan-tuan tanah, pedagang-pedagang perantara. Biasanya pasar uang jenis ini lebih menonjol untuk daerah pedesaan yang terkenal dengan rentenir dan sistem ijon. Adanya kebutuhan yang mendesa akan uang mengakibatkan cara tersebut yang mudah dijangkau oleh masyarakat di pedesaan.

5.      Dualisme Regional    
            Dualisme Regional ini banyak dibicarakan para ahli sejak tahun 1960-an. Pengertian Dualisme ini adalah ketidakeseimbangan tingkat pembangunan antar berbagai daerah dalam suatu negara. Ketidakeseimbangan ini sebenarnya terdapat juga di negara-negara maju, namun keadaan tidaklah separah seperti yang terjadi di NSB. Selain itu, di negara- negara maju ketidakeseimbangan ini cenderung betambah kecil.
            Dualisme Regional ini dapat mengakibatkan bertambah lebarnya kesejangan (gap) tingkat kesejahteraan antar berbagi daerah. Selain itu rualisme Regional yang semakin buruk juga dapat menimbulkan masalah-masalah sosial-politik yang dapat menghambat usaha untuk mempercepat lajunya pertumbahan ekonomi di NSB. Di indonesia, kesejangan regional ini bahkan menimbulkan isu tentang saparatisme di republik ini. Pada dasarnya, dualisme regional yang terjadi di NSB dapat di bedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a.       Dualisme antara daerah perkotaan dan perdesaan.
b.      Dualisme antar pusat negara, pusat industri dan perdagangan daerah-daerah lain dalam Negara tersebut.
            Kedua jenis Dualisme tersebut timbul terutama sekali sebagai akibat dari adanya investasi yang tidak seimbang antara daerah industri (perkotaan) dengan daerah pertaniaan (perdesaan). Ketidakseimbangan tersebut pada akhirnya memicu timbulnya kesenjangan antara pusat negara dengan daerah-daerah lainnya, atau antara daerah perkotaan dengan daerah perdesaan. Berikut ini di bahas kondisi dualisme regional di indonesia yakni  antara Jawa dan luar  Jawa serta Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Berbagai kondisi ketertinggalan KTI dibandingkan KBI dapat dilihat dari dua jenis ketimpangan yaitu :
a.       Ketimpangan Ekonomi, Selama ini pendapatan parkapita KTI selalu berada di awah rata-rata pendapatan per kapita nasional.
b.      Ketimpangan Infrastruktur, Ketersediaan prasarana dan sarana fisik yang kurang memadai.
            Adanya dua jenis ketimpangan tersebut, menimbulkan dampak pada penyebaran populasi penduduk, dan mengakibatkan perbedaan kinerja pembangunan wilayah antara KBI dan KTI, sebuah studi mengenai daya siang daerah  (Regional competitiveness) dari Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia (2002) telah mengukur kinerja 26 privinsi di Indonesia, dengan menggunakan 9 indikator daya saing daerah, yaitu:
1.      Perkonomian Daerah
2.      Keterbukaan
3.      Sistem Keuangan
4.      Infrastruktur dan SDA
5.      IPTEK
6.      SDM
7.      Kelembagaan
8.      Governance dan Kebijakan Pemerintah
9.      Manajemen dan Ekonomi Mikro.

            Dapat disimpulkan, bahwa dimensi ruang (spasial) dalam pendekatan pembangunan sebenarnya tidak hanya memandang daerah sebagai bagian dari ruang sub-nasional, namun juga bagaimana daerah dapat berinteraksi satu sama lain (interregional linkage) yang pada akhirnya mampu menciptakan sebuah sinergi.

Sumber :
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/ekonomi_pembangunan/bab_9_masal  ah_dualisme.pdf
http://mosokita.blogspot.co.id/2014/12/masalah-dualisme-pembangunan-    nasional.html
http://yuudi.blogspot.co.id/2012/10/dualisme-pembangunan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar